Kebijakan Pemerintah Thailand Pasca Gerakan Etnonasionalis Muslim Melayu di Thailand Selatan

Thailand adalah satu-satunya negara di kawasan Asia tenggara yang tidak pernah dijajah oleh negara kolonial. Namun sayangnya, negara Thailand tidak pernah luput dari adanya permasalahan konflik di dalam wilayahnya sendiri. Konflik-konflik yang terjadi di Thailand merupakan konflik antara Pemerintah Thailand dengan kaum etnis Muslim Melayu yang merupakan kaum minoritas di Thailand.

Konflik yang terjadi antara Pemerintah Thailand dengan etnis Muslim Melayu sudah terjadi sejak awal tahun 1990-an, yang mana etnis Muslim Melayu menuntut kemerdekaan dan berusaha melepaskan diri dari wilayah dan Pemerintahan Thailand, sayangnya hingga saat ini masih belum adanya titik temu dari konflik tersebut. Konflik bermula dari aksi protes yang dilancarkan oleh pihak etnis Muslim Melayu yang menganggap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Thailand sangat diskriminatif dan tidak memihak kepada mereka, yang kemudian berujung dengan adanya pemberontakan di sejumlah wilayah. Pemberontakan yang awalnya terdiri dari aksi kecil, menjadi aksi yang besar serta terorganisir. Sebenarnya, setiap aksi yang dilakukan oleh etnis Muslim Melayu digunakan untuk mencari simpati dan dukungan internasional, dengan harapan adanya dukungan dari dunia internasional, serta aspirasi mereka bisa lebih didengar dan mendapatkan jaminan perlindungan. Namun seiring berjalannya waktu, aksi protes yang dilakukan oleh etnis tersebut tidak lagi untuk mencari simpati atau dukungan internasional, namun berkembang menjadi upaya untuk mendirikan pemerintahan sendiri (Yuniarto, 2004).

Pemberontakan yang dilakukan untuk menuntut kemerdekaan etnis Muslim Melayu dilakukan oleh beberapa organisasi seperti Barisan Revolusi Nasional Coordinate (BRN-C), Pattani United Liberation Organization (PULO), dan Gerakan Mujahideen Islam Pattani (GMIP). Ketiga organisasi tersebut merupakan kelompok-kelompok etnonasionalis yang menuntut adanya kemerdekaan bagi setiap masyarakat etnis Muslim Melayu yang dikoordinasi oleh satu organisasi besar dalam setiap gerakan dan pemberontakan yang dilakukannya, organisasi tersebut dikenal sebagai Bersatu. Organisasi Bersatu ini melakukan setiap aksinya dengan melakukan pengerusakan terhadap beberapa pos polisi, militer serta infrastruktur pemerintahan lainnya.

Dengan adanya organisasi-organisasi tersebut sangatlah memberikan pengaruh besar pada setiap gerakan pemberontakan yang terjadi di Thailand Selatan, jadi tidak heran jika selalu terjadi ketegangan di wilayah tersebut. Serangkaian serangan yang dilancarkan pada Pemerintah Thailand semakin gencar dilakukan oleh etnis Muslim Melayu, serangan-serangan tersebut semakin terkoordinasi dan semakin terarah. Pada tahun 2004, telah terjadi ratusan aksi protes serta pengerusakan yang dilakukan oleh masyarakat etnis tersebut (Thnapransing, 2009). Selain itu, kekerasan yang terjadi di Thailand Selatan semakin berkembang luas dan tidak hanya menyerang aparat negara atau sarana pemerintah saja, melainkan mulai melakukan serangan dan pengeboman di kawasan publik yang mengakibatkan korban berjatuhan dari masyarakat sipil. Serangan-serangan tersebut dilakukan di sekolah-sekolah, pasar,  ataupun stasiun dan terminal. Dari serangkaian serangan tersebut telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 64 orang guru, dan 72 sekolah yang terbakar (Storey, 2007).

Masyarakat etnis Muslim Melayu telah menargetkan kawasan yang ramai penduduk dan merupakan daerah yang ramai dikunjungi oleh masyarakat, seperti pasar ataupun sekolah. Setiap penembakan yang dilakukan oleh organisasi etnonasionalis ini dilakukan secara membabi buta, yang kemudian menimbulkan keresahan dan teror bagi masyarakat Thailand Selatan lainnya. Sehingga, perlu adanya tindakan dari Pemerintah Thailand dalam merespon setiap serangan yang dilakukan oleh pemberontak di wilayah tersebut. Pemerintah Thailand merasa bahwa setiap serangan yang dilakukan oleh organiasasi etnonasionalis etnis Muslim Melayu ini hampir terjadi setiap hari, mereka bahkan tidak ragu untuk melakukan serangan terhadap markas militer Thailand. Organisasi tersebut juga tidak segan menggunakan senjata berat serta bahan peledak, dan menargetkan timbulnya korban jiwa dari aparat pemerintah ataupun warga etnis Thai. Tujuan dari adanya organisasi itu sendiri adalah untuk mengusir etnis Thai dari wilayah Thailand Selatan, serta untuk mendirikan negara Islam dan mengulang kejayaan yang dimiliki oleh etnis Muslim Melayu.

Dalam menangani masalah yang ditimbulkan oleh kelompok organisasi etnonasionalisme etnis Muslim Melayu di Thailand Selatan, akhirnya membuat Pemerintah Thailand mengambil sejumlah tindakan supresif. Pemerintah melakukan tindakan tersebut karena tidak akan adanya negosiasi dengan para pemberontak. Pada awalnya Pemerintah Thailand bersikeras menyatakan bahwa situasi yang mereka hadapi di kawasan tersebut merupakan tindakan kriminal biasa, dan dapat diatasi dengan penggunaan aparat keamanan. Namun keadaan semakin memburuk di tahun 2004, yang kemudian Pemerintah Thailand memutuskan untuk meningkatkan dan merubah strategi dalam menghadapi masalah tersebut.

Keseriusan Pemerintah Thailand dalam menyelesaikan masalah tersebut dapat dilihat dari adanya pemberlakuan UU darurat militer di wilayah Thailand Selatan pada tahun 2004. Pemerintah Thailand juga mengirimkan sekitar 10.000 tentara ke wilayah tersebut, dan menambahkan 20.000 tentara militer (Jones, 2007). Pemerintah Thailand memerintahkan aparat militer untuk menangkap setiap oknum-oknum yang dicurigai terlibat dalam serangan-serangan yang pernah dilakukan oleh kelompok etnonasionalisme di wilayah Thailand Selatan. Kemudian, aparat militer dan kepolisian juga bersatu untuk menangani kelompok Muslim Melayu yang dicurigai terlibat dalam serangan dengan menggunakan cara-cara yang tegas.

Tidak hanya sampai di situ, parlemen di Thailand juga mengeluarkan kebijakan The Emergency Decree on Government Administration in States of Emergency, yaitu sebuah kebijakan yang memberikan mandat kepada Perdana Menteri untuk memberlakukan undang-undang darurat. Dikeluarkannya kebijakan tersebut artinya memberikan kewenangan penuh kepada Perdana Menteri guna menyatakan keadaan darurat di dalam suatu wilayah maupun seluruh wilayah di Thailand. Perdana Menteri mempunyai wewenang untuk mengeluarkan peraturan agar untuk tidak keluar rumah, peraturan untuk tidak melakukan pertemuan di luar, peraturan untuk melarang adanya penyebaran berita, surat atau yang lainnya dalam bentuk tulisan, peraturan untuk tidak menggunakan akses jalan dan kendaraan, peraturan untuk tidak menggunakan, memasuki atau keluar dari suatu gedung atau bangunan, dan yang terakhir adalah Perdana Menteri mempunyai kewenangan untuk mengevakuasi penduduk dari suatu wilayah atau melarang penduduk memasuki suatu wilayah tertentu.

Kebijakan yang dikeluarkan tersebut bertujuan untuk membatasi pergerakan dari kelompok etnonasionalisme. Dengan memberlakukan kebijakan tersebut, kelompok etnonasionalis diyakini akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi untuk memobilisasi massa dan melakukan perencanaan untuk serangan berikutnya. Pemerintah Thailand juga semakin memperketat gerak kelompok tersebut dengan menambah beberapa pos penjagaan di setiap sudut kota dan pedesaan. Masyarakat yang melanggar setiap kebijakan yang ada akan langsung dicurigai keterlibatannya dalam kelompok etnonasinalisme dan akan ditangkap.

Referensi                                                         

Jones, S. (2007). Framing The Violence In Southern Thailand: Three Waves of Malay-Muslim Separatism.[Master Thesis, Ohio University]. Ohio Link Education. https://etd.ohiolink.edu/apexprod/rws_etd/send_file/send?accession=ohiou1179351296&disposition=inline

Alunaza, H., & Amijoyo, R. R. S. (2019). Kebijakan Luar Negeri Najib Razak Terhadap Konsolidasi Thailand Dan Gerakan Aliansi Separatisme Etnis Melayu di Thailand Selatan di Tahun 2013-2016. Mandala Jurnal Hubungan Internasional, (2)1, 98-111 https://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/JM/article/view/997/662

Storey, I. (2007, 17 Februari). Ethnic Separatism in Southern Thailand: Kingdom Fraying At The Edge. https://apcss.org/ethnic-separatism-in-southern-thailand/

Thnaprarnsing, P. T. (2009). Solving the Conflict in Southern Thailand (Strategy Working Project No. 0704-0188). https://apps.dtic.mil/sti/pdfs/ADA501215.pdf

Yuniarto, P.  (2004). Integrasi Muslim Pattani: Reidentifikasi Sosial Atas Dominasi “Nasional” Thailand. Hermeneia Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, (3)2, 1-20 http://digilib.uin-suka.ac.id/8439/

Author:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *