Upaya Jepang dalam mengatasi pengaruh Aging Society di bidang Ekonomi melalui Womenomics

Dewasa ini, perubahan demografi atau kependudukan menjadi salah satu permasalahan yang banyak terjadi di beberapa negara di dunia. Permasalahan demografi ini bukan lagi hanya permasalahan domestik suatu negara saja, namun telah menjadi permasalahan dunia internasional. Perubahan demografi dapat berupa pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat secara cepat (over population), penurunan jumlah penduduk (declining population) maupun penuaan populasi (aging population). Perubahan ini pun mempengaruhi berbagai sektor kehidupan seperti dalam bidang ekonomi, sosial, pertahanan, keamanan, kesehatan, dan lain sebagainya.  

Saat ini banyak negara maju sedang mengalami masalah populasi, dimana tingkat populasi pada negara-negara maju sedang menghadapi penurunan, hal ini disebabkan salah satunya karena rendahnya minat para generasi muda untuk memiliki keluarga sehingga berdampak kepada rendahnya angka kelahiran. Bersamaan dengan rendahnya kelahiran, jumlah penduduk yang mulai memasuki usia tua pun meningkat dengan pesat sehingga ketimpangan populasi pun terjadi, fenomena ini biasa dikenal dengan nama aging population. Jepang merupakan negara maju yang sedang mengalami masalah tersebut, masalah ini tentunya menjadi hal yang serius karena dapat berdampak buruk salah satunya terhadap kondisi ekonomi khususnya dalam sektor ketenagakerjaan. Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah Jepang berupaya menerapkan beberapa kebijakan untuk mengatasinya. Penurunan jumlah penduduk yang terjadi secara langsung akan melemahkan daya saing Jepang dalam ekonomi global di masa depan. Saat ini, Jepang tetap berada di dalam angkatan kerja yang lebih lama dibandingkan dengan negara-negara industri lainnya.  

Selanjutnya, Menurut laporan yang dikeluarkan oleh World Bank (2019), Jepang juga telah mengalami peningkatan dependency ratio. Dependency ratio merupakan rasio yang memperlihatkan adanya ketergantungan masyarakat yang tidak produktif kepada masyarakat yang produktif. Pada tahun 2010 hingga 2015 dependency ratio Jepang berjumlah 55.892 menjadi 63.958, untuk old dependency ratio berjumlah 35.073 menjadi 42.661, sedangkan untuk young dependency ratio berjumlah 20.819 menjadi 21.297 (World Bank, 2019). Dari data tersebut menunjukkan bahwa terdapat ketidakseimbangan dimana populasi lansia lebih banyak dibandingkan populasi muda. semakin bertambahnya populasi lansia yang pada akhirnya mereka akan pensiun, tentunya ini menjadi masalah bagi Jepang karena kekurangan tenaga kerja muda untuk menggantikan dan mengisi pekerjaan yang sudah ditinggalkan lansia, sehingga berpengaruh pada produktivitas dan daya saing ekonomi Jepang. 

Berdasarkan masalah tersebut memang sudah sejak lama Jepang mencoba mengatasi penurunan populasi ini. Bahkan, pernah ada istilah ShoushikaShoushika merupakan istilah yang digunakan dalam menggambarkan penurunan jumlah kelahiran di Jepang. Kata shoushika pertama kali muncul di tahun 1992, dalam sebuah judul White Paper yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang yang berjudul Shoushi shakai no tourai, sono eikyou to taisaku (Masahiro, 2008). Dengan kata lain, shoushika adalah keadaan terus menurunnya jumlah kelahiran sehingga menimbulkan hilangnya populasi dari generasi muda yang akan melanjutkan kehidupan dari generasi yang terlebih dahulu. Selain itu faktor yang menyebabkan hal ini terjadi yaitu Adanya perubahan cara berpikir wanita Jepang merupakan salah satu faktor menurunnya jumlah kelahiran di Jepang. Keputusan para wanita Jepang dalam menentukan tidak memiliki anak berpengaruh terhadap jumlah kelahiran tiap tahunnya.  

Di masa pemerintahan Shinzo Abe (2012-2020), kebijakan dalam mengatasi rendahnya populasi usia produktif yang diambil adalah dengan mendorong partisipasi kaum wanita dalam dunia kerja. Kebijakan ini disebut dengan ‘Womenomics’ dimana perusahaan didorong dengan diberikan insentif untuk mempekerjakan lebih banyak wanita serta memberikan lebih banyak jabatan kepemimpinan kepada karyawan wanita. Sebenarnya kebijakan ini merupakan realisasi gagasan yang diadopsi dari pidato Abe pada tahun 2003 (Waldman, 2020). Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan beberapa target untuk diimplementasikan antara lain: (1) meningkatkan partisipasi perempuan usia 25 hingga 44 tahun dalam angkatan kerja menjadi 73% dan meningkatkan persentase posisi perempuan dalam kepemimpinan menjadi 30% pada tahun 2020, (2) meningkatkan ketersediaan tempat pengasuhan dan penitipan anak setelah sekolah, (3) mendorong sektor swasta untuk mempromosikan dan menyajikan data tentang kemajuan perempuan, (4) merekrut dan mempromosikan perempuan di pemerintahan, (5) memperluas manfaat cuti penitipan anak, (6) mengkaji sistem perpajakan dan jaminan sosial, dan (7) mengizinkan pembantu rumah tangga asing di zona ekonomi khusus (Avery & Nelson, 2014).  

Kebijakan ini banyak didukung oleh kaum feminis, karena kebijakan ini dianggap sebagai reformasi kaum wanita di Jepang. Namun banyak yang menilai bahwa kebijakan ini malah menjadi bumerang dan memperburuk krisis demografi di Jepang. Karena kebijakan yang mendorong wanita untuk bekerja ini membuat berumah tangga bukan lagi menjadi tujuan utama wanita Jepang dalam menjalankan hidup. Karir dianggap lebih menjanjikan, karena dengan gaji yang didapat, mereka dapat menjadi independen secara finansial. Budaya masyarakat Jepang yang kompetitif juga membuat wanita di Jepang terlalu sibuk untuk mencapai posisi karir setinggi mungkin, sehingga mereka memilih untuk menunda perkawinan dan memiliki anak, bahkan sebagian tidak ingin menikah sama sekali. Naiknya total tenaga kerja wanita secara terus-menerus mencerminkan bahwa para wanita tidak ingin lagi bereproduksi. Ini akan berakibat pada kelahiran yang akan terus berkurang (Coulmas, 2007). 

Namun, dalam penerapannya masih terdapat banyak kendala dan hambatan seperti Jepang tidak membuat jam kerja yang fleksibel sehingga sulit bagi orang tua khususnya perempuan untuk menyesuaikan jadwal dengan kegiatan yang dirumah seperti mengasuh anak dan mengurus rumah tangga dan kemudian juga tidak ada praktik untuk menggunakan pengasuh anak dikarenakan beberapa kebijakan imigrasi di Jepang yang ketat dengan membatasi jumlah pengasuh potensial dari negara asing yang membuat kurangnya minat untuk bekerja bagi para buruh asing. Maka dari itu, kita dapat melihat bahwa penerapan kebijakan womenomics ini belum sepenuhnya berhasil untuk meningkatkan tenaga kerja di Jepang khususnya bagi perempuan. Nyatanya, partisipasi dari perempuan dalam kehidupan ruang publik khususnya pada pemerintahan Abe masih sangat sedikit sehingga target yang ditentukan tidak tercapai. Pemerintah perlu melakukan evaluasi dan komitmen untuk memperbaiki kekurangan dari kebijakan ini serta mengurangi budaya patriarki agar tujuan dari kebijakan womenomics ini dapat tercapai. Selain itu, pemerintah Jepang hingga saat ini masih terus mengupayakan solusi dan penanganan dari dampak yang ditimbulkan oleh Aging Society. 

Referensi 

Avery, E., C & Nelson, R., M. (2014). Womenomics in Japan: In Brief (Policy Brief). Congressional Research Service. https://fas.org/sgp/crs/row/R43668.pdf 

Coulmas, F. (2007). Population Decline and Ageing in Japan – The Social Consequences. Routledge. 

Waldman. (2020). Why Japan’s Push for Gender Equality Is Failing. https://www.worldpoliticsreview.com/trend-lines/28972/for-japan-s-abe-womenomics-is-not-enough-to-achieve-gender-equality

World Bank. (2019). Population Ages 65 and Above (% of Total Population) – Japan. https://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.65UP.TO.ZS?locations=JP  

Yamada, M. 2008. Shoushika Shakai Nihon : Mou Hitotsu no Kakusa no Yukue. Iwanami Shinsho.

Author:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *