Kawasan Asia Timur merupakan salah satu kawasan yang menjadi perebutan kekuasaan bagi negara-negara yang ingin memperluas kekuasaannya, salah satunya Cina. Cina yang dikenal sebagai “the rising power” terus berusaha memperluas kekuasaannya untuk menjadi negara hegemoni seperti Amerika Serikat. Cina terus berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaannya di seluruh kawasan, termasuk kawasan Asia Timur. Salah satu masalah terbesar yang ada di kawasan Asia Timur ini yaitu adanya krisis kepercayaan antar negara di dalamnya yang menjadi salah satu faktor penghambat integrasi di kawasan Asia Timur. Krisis kepercayaan di kawasan Asia Timur ini disebabkan oleh faktor pengalaman negara-negara tersebut di masa lalu. Misalnya seperti konflik wilayah antara Cina dan Taiwan, konflik perebutan Pulau Senkaku antara Cina dan Jepang, perebutan kawasan Takeshima antara Korea Selatan dan Jepang, konflik di Semenanjung Korea dan konflik lainnya terutama masa kolonialisme Jepang di masa lalu. Konflik-konflik tersebut membuat negara-negara di kawasan Asia Timur merasa selalu curiga dan terus menghantui mereka saat ingin menjalin hubungan kerja sama.
Kawasan Asia Timur memiliki dua negara dengan kekuatan dan pengaruh yang cukup besar, yaitu Jepang dan Cina. Kedua negara ini diharapkan dapat mendorong integrasi atau pemersatuan di kawasan Asia Timur dengan cara membentuk institusi regional di kawasan tersebut. Dalam pepembentukan institusi regional di kawasan Asia Timur Jepang pernah berperan dalam mengusulkan pembentukan East Asian Community (EAC). Cinapun pernah menjadi penggagas dalam pembentukan Free Trade Agreement (FTA) pada tahun 2002 bersama negara-negara ASEAN pada saat pertemuan ASEAN+3 (Asean Plus Three) yang kemudian dimmplementasikan melalui Sino-ASEAN Framework Protocol on Overall Economic Cooperation pada tahun 2010 (Veronica, 2014).
Seorang intelektual Jepang bernama Okakura Tenshin pernah mempromosikan gagasan “hitotsu Asia” yang berarti “Asia adalah satu”. Hal ini berarti Jepang dan negara Asia tidak terpisahkan juga keinginan Jepang yang ingin menyatukan Asia, terutama kawasan Asia Timur. Dengan kebijakan ODA (Official Development Assistance), Jepang berusaha mempertahankan eksistensnya dengan cara meningkatkan hubungan kerja sama pada negara-negara di kawasan Asia. ODA digunakan oleh Jepang sebagai instrumen atau alat politik dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Adanya kebijakan ODA ini memberi dampak positif bagi Jepang karena dapat mengurangi ketegangan yang ada, dan sedikit membuka pola pikir masayarakat di kawasan Asia Timur bahwa sekarang Jepang adalah negara yang cinta damai (Zhao, 2017). Bahkan Cina sebagai negara pesaing Jepang juga terbantu akibat adanya ODA dari Jepang sehingga negaranya bisa terus berkembang seperti sekarag.
Cina juga terus berusaha untuk membuat kerja sama dan menawarkan bantuan dana ataupun jasa kepada negara-negara di kawasan Asia Timur serta di beberapa negara yang berbeda kawasan. Walaupun kedua negara ini saling berkompetisi dalam mempertahankan eksistensinya di kawasan Asia Timur tersebut, baik Cina maupun Jepang juga mengalami ketergantungan atau interdependensi. Hal ini dikarenakan kedua negara tersebut masih menjalin hubungan terutama dalam kerja sama ekonomi di berbagai forum regional.
Adanya kerja sama tersebut tidak serta merta membuat kompetisi di antara keduanya berakhir. Kerja sama yang dilakukan Jepang dan Cina masih selalu diwarnai dengan saling curiga akibat sejarah di masa lalu. Dalam menjaga eksistensinya, Jepang mengintensifkan perannya dalam institusi regional dan mendekatkan hubungannya dengan negara di kawasan Asia Timur untuk mencegah Cina yang semakin memperluas kekuasaannya terutama dalam bidang ekonomi. Rivalitas Jepang dan India ini dapat dilihat pada peran yang dilakukan oleh Jepang dan Cina di berbagai forum multilateral yang ada, yaitu ASEAN+3 (Asean Plus Three), Six Party Talks (6PT), dan Forum Regional ASEAN (ARF). Dalam forum-forum ini, terutama forum East Asia Summit dapat dilihat peran Jepang yang berusaha untuk memperluas pengaruhnya di kawasan Asia Timur. Peran Cina sendiri mendominasi di beberapa organisasi regional seperti ASEAN+3. Pada era saat ini Cina merupakan salah satu negara yang terkenal memiliki keahlian dalam melakukan soft power diplomacy, sehingga Cina berusaha memperluas pengaruhnya dengan meminjamkan dana bantuan kepada negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur yang pernah mengalami kesulitan ekonomi dan membutuhkan bantuan dana. Hal inilah yang kemudian membuat negara-negara ASEAN percaya kepada Cina dan membuat kesepakatan lainnya dengan Cina seperti China-ASEAN Free Trade Agreement (Veronica, 2014).
Jepangpun meningkatkan perannya dalam ASEAN+3 dengan mengusulkan Comprehensive Economic Partnership terkait perjanjian investasi, perdagangan, sumber daya manusia, pariwisata dan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. ASEAN+3 ini dianggap sebagai langkah strategis bagi Jepang untuk menyaingi Cina dalam berpengaruh di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Jepang juga menggunakan ciri khas budayanya dalam memberi pengaruh sebagai salah satu langkah soft power diplomacynya. Hal ini terbukti dengan suksesnya budaya Jepang di negara-negara kawasan tersebut, baik dengan animenya, gayanya, makanannya, dan lain-lain.
Hambatan Jepang dalam meningkatkan perannya di kawasan Asia Timur yaitu minimnya rasa kepercayaan dari negara-negara di kawasan tersebut akibat sejarah masa lalu, hubungan Jepang dengan AS yang dipandang negara lain sebagai hal negatif karena mereka menganggap Jepang merupakan alat yang digunakan AS untuk mencapai kepentingan nasionalnya yang tentunya bersifat zero sum game. Sedangkan hambatan yang dihadapi Cina dalam meningkatkan perannya adalah Cina dianggap sebagai negara yang berbahaya terkait masalah perbatasan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya konflik yang ada yaitu masalah perbatasan dengan Cina seperti yang terjadi pada Laut Cina Selatan di Vietnam dan Fillipina serta negara lainnya. Cina juga dianggap tidak transparan terutama dalam anggaran pertahanannya. Kebijakan yang dijalankan Cina juga dianggap terlalu ekspansif, di mana Cina terus berambisi dalam memperluas wilayah kekuasaannya di kawasan Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan (LCS), ditambah lagi dengan proyek Belt and Initiative Road (BRI) yang dibangun Cina terus meluas. Hal ini semakin membuat negara-negara di kawasan Asia Timur dan kawasan lainnya yang terdapat proyek tersebut ragu karena merasa terancam dengan kebijakan yang dilakukan Cina tersebut.
Referensi
Zhao, Q. (2017). Japan’s Leadership Role in East Asia: Cooperation and Competition between Japan and China. Journal of Policy and Society, 23(1). 111-128. https://doi.org/10.1016/S1449-4035(04)70029-6
Veronica, N. W. (2014). Rivalitas Cina dan Jepang dala Institusi Regional Asia Timur. Global, 16(1). 20. https://www.researchgate.net/publication/319935237_Rivalitas_Cina_dan_Jepang_dalam_Institusi_Regional_Asia_Timur
Sangat informatif. Terima kasih, Author!
Persaingan antara 2 negara unggul di Asia Timur ini memang sangat menegangkan. Good work author!
Bagus sekali artikelnya author!! Keep up the good work! ❤️
Keren artikelnya terima kasih author good job👍🏼
nice, informatif ✨
Ngebahas China dan Jepang tuh emg menarik yaa, informasi yang bergunaa. Thank youuu!🥰
Pembahasannya menarik, jadi menambah informasi bagi pembaca. Terima kasih
Artikelnya sangat informatif dan mudah dipahami. Semangat terus Tasya!!
Artikel nya bagus sekali, good job author 👍
Gak pernah bosen deh kalo isu nya menyangkut kedua negara ini, artikel yg informatif
baru tau tentang pandangan negera lain ke jepang, rapih banget artikelnya
Semangat terus Tasya!
sangat informatif dan bermanfaat