Dewasa ini dunia secara masif tengah mengalami perubahan demografis yang ditandai dengan melambatnya pertumbuhan populasi global dikarenakan adanya penurunan angka kelahiran dan peningkatan angka harapan hidup, sehingga struktur usia penduduk mulai didominasi oleh penduduk berusia tua atau dikenal sebagai aging population. Pada kawasan Asia Timur sendiri, fenomena aging population diproyeksikan akan menjadi fenomena umum selama beberapa dekade mendatang. Isu penuaan menjadi permasalahan yang cukup serius bagi negara-negara di kawasan Asia Timur dikarenakan berdampak tidak hanya pada sektor perekonomian negara saja, akan tetapi juga berdampak pada kesejahteraan sosial penduduk berusia tua (Thakur, 2018). Hampir setiap negara di dunia mengalami perubahan tersebut dengan tahap dan kecepatan yang beragam pula, termasuk beberapa negara maju seperti Jepang yang hingga kini masih mengalami proses perubahan demografi.
Jepang merupakan salah satu negara maju yang mempunyai tingkat usia harapan hidup tertinggi di dunia. Tercatat setidaknya angka rata-rata hidup penduduk di Jepang mencapai 83,7 tahun, angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia yang rata-rata angka harapan hidupnya hanya 69,1 tahun (Suryadi, 2019). Bahkan Jepang dikenal sebagai negara dengan penduduk tertua di dunia karena lebih dari 25 persen penduduknya berusia lebih dari 65 tahun dan angka tersebut akan terus meningkat hingga 36 persen pada tahun 2040. Gaya hidup dan semakin canggihnya teknologi kesehatan di Jepang menjadi faktor pendorong bagi masyarakatnya untuk hidup lebih lama (Asih et al., 2018).
Sementara itu, tingginya angka harapan hidup di Jepang turut disertai dengan rendahnya angka kelahiran yang kemudian memproyeksikan distribusi penduduk Jepang akan berbentuk piramida terbalik pada tahun 2050, di mana populasi lansia akan jauh lebih daripada kelompok usia muda/ produktif (Suryadi, 2019). Berdasarkan sensus penduduk, pada bulan Oktober 2015 total populasi Jepang sudah mencapai hingga 127 juta jiwa dan angka ini terus mengalami penurunan setelah mencapai puncaknya pada tahun 2010 yaitu sebanyak 128,7 juta jiwa. Penurunan populasi tersebut mayoritas terjadi pada kelompok usia produktif yang disebabkan oleh semakin panjangnya tingkat harapan hidup, rendahnya tingkat kelahiran daripada kematian, dan ketatnya kebijakan imigrasi yang membuat net migrasi asing hampir nol (Asih et al., 2018).
Sementara itu, pada tahun 2019, Statistics Bureau of Japan menyatakan bahwa angka populasi penduduk berusia 65 tahun sudah mencapai 28,4 persen, di mana angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka populasi penduduk berusia 0-14 tahun yang hanya mencapai sekitar 12,1 persen. Kondisi tersebut sekaligus menjelaskan bahwa angka kelahiran di Jepang sudah mulai mengalami penurunan secara drastis, bahkan populasi penduduk Jepang diproyeksikan akan membentuk piramida terbalik yang disebabkan oleh tingginya angka kematian dibanding angka kelahiran. Pernyataan ini kemudian diperkuat oleh adanya penurunan tingkat kelahiran di Jepang menjadi 863.234 jiwa pada tahun 2019 dari setahun sebelumnya yakni 918.400 jiwa (Statistics Bureau of Japan, 2020).
Jepang berada pada proses demografi yang menimbulkan berbagai dampak ekonomi, di mana kombinasi unik antara kenaikan jumlah penduduk lansia dan harapan hidup yang tinggi serta menurunnya angka kelahiran menyebabkan terjadinya peningkatan terhadap total dependency ratio. Dampak sosial ekonomi dan depopulation aging yang meluas kemudian mendorong pemerintah Jepang untuk membuat berbagai kebijakan yang dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu kebijakan di bidang kesehatan, pengobatan, dan perawatan, serta kebijakan di bidang pendapatan dan partisipasi sosial. Bahkan pasca Perang Dunia Kedua, Jepang telah mengoperasikan sistem pensiun dan asuransi yang mencakup berbagai sektor kecuali sektor informal seperti pertanian dan wirausahawan.
Selanjutnya sebagai upaya untuk meningkatkan kesehatan lansia dan menyempurnakan berbagai kebijakan terdahulu, pemerintah Jepang menginisiasi Second Movement to Strengthen Citizen’s Health in 21st Century atau dikenal sebagai program Healthy Japan 21 guna meningkatkan kesehatan masyarakat Jepang melalui sistem jaminan sosial berkelanjutan, perbaikan gaya hidup dan lingkungan sosial, dan saling mendukung satu sama lain dengan harapan dapat menciptakan semangat hidup sehat dan memenuhi kebutuhan masyarakatnya sepanjang tahapan kehidupan. Pemerintah Jepang di bawah kepemimpinan Shinzo Abe juga berusaha untuk mereformasi ketenagakerjaan dengan menaikkan usia pensiun menjadi 65 tahun untuk pegawai negeri dan membuka ruang kerja bagi penduduknya yang masih ingin aktif berkarya hingga usia 70 tahun. Selain kebijakan, pemerintah Jepang juga memfasilitasi kembalinya lansia ke dunia kerja. Berbagai pinjaman dari Japan Finance Corporation juga turut ditawarkan bagi para lansia yang ingin memulai usahanya (Asih et al., 2018).
Kebijakan ini terlihat dengan banyaknya penduduk lansia di Jepang yang hingga kini masih aktif bekerja, baik menjadi sopir, petugas keamanan, ataupun pelayan di restoran. Beberapa lansia yang memasuki masa pensiun juga saling berkumpul untuk kemudian membuat perusahaan konsultasi dengan memanfaatkan pengalaman yang mereka miliki ketika bekerja. Kemudian ada pula lansia yang menjadi relawan ahli yang dikirim ke negara-negara berkembang untuk mewakili Japan International Coorporation (JICA) serta lansia yang memilih untuk bekerja kembali di yayasan seperti Japan Association of Second-life Service (Suryadi, 2019).
Meski kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Jepang dapat dikatakan berhasil, namun dampak yang ditimbulkan dari depopulation aging terhadap perekonomian negara tidak dapat dihindari. Menurunnya angka kelahiran hingga migrasi warga ke kota-kota besar menyebabkan penurunan aktivitas perekonomian lokal yang kemudian juga membuat permintaan kredit dari perusahaan semakin menurun. Sehingga lembaga keuangan daerah saling berlomba menyasar pemberian kreditnya ke luar provinsi agar dapat bertahan hidup. Selain itu, masih banyak tantangan-tantangan berat lain yang harus dihadapi dan memerlukan berbagai upaya dari lembaga keuangan daerah. Sehubungan dengan upaya-upaya tersebut, Bank of Japan selaku bank sentral difokuskan untuk memberikan dukungan kepada lembaga keuangan daerah termasuk ikut mendiskusikan berbagai upaya yang diperlukan untuk memperbaiki iklim dan revitalisasi ekonomi atau keuangan lokal secara lebih mendalam, serta menawarkan lembaga keuangan daerah untuk peningkatan fungsi intermediasi, adaptasi teknologi informasi, manajemen risio, dan bagi hasil analisis yang dimiliki dalam berbagai bentuk (Asih et al., 2018).
Referensi
Suryadi. (2019). Memanfaatkan Keahlian dan Pengalaman Lansia untuk Tetap Bekerja “Studi Kasus pada Negara Jepang”. Jurnal Sains Manajemen, 5(2), 196-211. https://doi.org/10.30656/sm.v5i2.1864
Thakur, G. (2018). Ageing in East Asia Challenges and Policies: A Comparative Study of Welfare Services for the Elderly in Korea and Japan. Lensa Budaya: Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya, 13(2), 96-109. https://doi.org/10.34050/jlb.v.13i2.5295
Asih, K. N., Kamil, A. I., Hermawan, D., & Noerhidajati, S. (2018). Transisi Demografi dan Stabilitas Sistem Keuangan: Studi Kasus Indonesia dan Jepang (Bank Indonesia Working Paper No. W/7/2018). http://publication-bi.org/repec/idn/wpaper/WP72018.pdf
Statistics Bureau of Japan. (2020). Statistical Handbook of Japan 2020. https://www.stat.go.jp/english/data/handbook/index.html