Prinsip Bushidou dalam Masyarakat Jepang

Jepang adalah negara mampu bertahan dari kehancuran karena karakter masyarakatnya. Setelah mengalami kehancuran akibat pengeboman Amerika terhadap kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang harus mengalami masa sulit. Mulai dari kekalahannya pada Perang Dunia II, kehancuran infrastruktur kota, kehancuran ekonomi dan lain sebagainya. Namun kehancuran yang dialami Jepang saat itu tidak menghancurkan karakter dan kebudayaan dari masyarakat Jepang. Sebaliknya, masa-masa sulit yang dialami Jepang kala itu menjadi cermin dan pembuktian atas kepribadian bangsa yang berakar pada kebijaksanaan dan nilai lokal, yang dikenal dengan Bushidou (Siswantara & Mujihandono, 2021).

Bushidou adalah kata bahasa Jepang yang berasal dari kata bushi yang berarti ksatria dan dou yang berarti jalan, sehingga dapat diartikan sebagai jalan ksatria. Bushidou merupakan suatu aturan moral bagi ksatria yang berlaku di kalangan samurai (Rini, 2017). Prinsip Bushidou ini berkaitan erat dengan ajaran Budha Zen, karena perkembangannya keduanya terjadi pada saat yang hampir bersamaan. Kepercayaan para samurai dan ajaran Budha Zen ini menimbulkan sikap untuk menjaga keharmonisan dengan alam semesta, khususnya dengan alam lingkungan. Bushidou juga diartikan sebagai sebuah kode etik kepahlawanan golongan Samurai pada masa feodalisme Jepang. Samurai sendiri merupakan sebuah strata sosial yang sangat penting dalam tatanan masyarakat feodalisme Jepang (Widisuseno, 2019). Dalam manifestasinya sebagai karakteristik atau identitas diri bangsa Jepang Bushidou memiliki tujuh kebajikan yaitu:

Gi (Integritas)

Integritas berarti jujur dan utuh. Keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dari berbagai aspek kehidupan. Integritas menjadi salah satu nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam Bushidou. Selain itu nilai ini menjadi dasar bagi masyarakat Jepang untuk mengerti tentang moral dan etika serta menjalankannya secara utuh dan menyeluruh (Rini, 2017).

Yu (Keberanian)

Keberanian yakni sikap dan sebuah tindakan untuk dapat bertahan kepada prinsip-prinsip kebenaran yang sudah dipercayai walaupun mendapat banyak tekanan dan kesulitan (Rini, 2017). Tanpa keberanian seseorang tidak akan bisa menjadi siapa-siapa dan tidak akan mendapatkan kesuksesan.

Jin (Murah Hati)

Murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama. Jin mewakili sifat mencintai. Dalam artian walaupun seorang samurai belajar ilmu pedang dan strategi untuk berperang, para samurai harus memiliki sifat mencintai sesamanya. Selain sifat mencintai, nilai murah hati ini juga ditunjukkan dalam hal memaafkan (Widisuseno, 2019)

Rei (Hormat dan Santun)

Sikap hormat dan santun ini dimaksudkan tidak saja ditunjukkan pada pemimpin ataupun orang yang lebih tua namun kepada siapa pun yang ditemui. Nilai Rei ini dapat kita lihat dari masyarakat Jepang menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat.

Makoto (Kejujuran)

Seorang samurai haruslah bersikap jujur dan tulus dalam mengakui, berkata, dan memberikan suatu kabar atau informasi yang sesuai dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Seorang samurai haruslah selalu bisa untuk menjaga ucapan yang keluar dari mulutnya dan selalu waspada, seorang samurai juga tidak boleh menggunjingkan sesuatu jika mendengar hal buruk tentang orang lain (Widisuseno, 2019).

Meiyo (Kehormatan)

Nilai ini mengajarkan untuk tetap menjaga kehormatan dan martabat serta kemuliaan yang dimiliki. untuk dapat menjaga kehormatan, seorang samurai harus dapat menjalankan prinsip Bushidou ini dengan konsisten. Sebagai strata sosial yang penting dalam masyarakat Jepang seorang samurai pastilah memiliki harga diri yang tinggi dan harus menjaganya dengan sikap dan tindakan samurai sejati (Siswantara & Mujihandono, 2021).

Chugo (kesetiaan pada pemimpin)

Seorang samurai menjaga kesetiaan atau loyalitasnya kepada satu pemimpin atau guru atau atasannya. Nilai kesetiaan ini ditunjukkan dengan pengabdian yang tinggi dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Seorang ksatria haruslah loyal terhadap pemimpinnya, baik pemimpin tersebut dalam keadaan susah maupun senang. Seorang ksatria tetap setia pada pimpinannya dan tidak meninggalkannya (Widisuseno, 2019).

Referensi:

Rini, E., I. (2017). Karakteristik Masyarakat Jepang. Kiryoku, 1(3), 30-38. https://doi.org/10.14710/kiryoku.v1i3.30-38

Siswantara, Y. & Mujihandono, D., S. (2021). Semangat Bushido Analisa Kultural Untuk Pengembangan Karakter Masyarakat. Sapientia Humana: Jurnal Sosial Humaniora 1(1), 29-38. https://journal.unpar.ac.id/index.php/Sapientia/article/view/4970

Widisuseno, I. (2019). Studi Tentang Identitas Jati Diri Bangsa Jepang Dalam Kajian Filosofis. Kiryoku, 3(3), 172-180. https://doi.org/10.14710/kiryoku.v3i3.172-180

Author: Merry

One thought on “Prinsip Bushidou dalam Masyarakat Jepang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *