Abenomics Dengan Tiga Pilar Utamanya

Jepang adalah salah satu negara dengan kinerja terbaik dalam ekonomi dunia hingga akhir 1980-an. Namun, Jepang mengalami lebih dari satu dekade stagnasi sejak tahun 1990, dan dekade berikutnya telah dijuluki sebagai Dekade yang Hilang, Dua Dekade yang Hilang, Stagnasi Sekuler, atau Stagnasi Hebat. Setiap pemerintahan berturut-turut menerapkan kebijakan yang berusaha mengatasi kelesuan ekonomi, tetapi mereka hanya berhasil mencapai keberhasilan yang terbatas. Ada perkembangan baru yang sedang berlangsung dalam perekonomian Jepang, yang diprakarsai oleh PM Shinzō Abe pada akhir 2012 dan awal 2013, kebijakan baru tersebut dikenal sebagai Abenomics. Pemerintahan perdana Menteri Shinzo Abe, yang mempopulerkan dan memprakarsai proses reformasi ekonomi yang eksplisit (Grabowiecki & Dabrowski, 2017). Kebijakan ekonomi yang dipopulerkan oleh Perdana Menteri Shinzo Abe memiliki “Three Arrows” (kebijakan) : (1) konsolidasi fiskal, (2) kebijakan moneter yang agresif, dan (3) strategi pertumbuhan (Yoshino & Hesary, 2014). 

Pada 2013, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe lewat kebijakannya Abenomics menyatakan dukungannya pada sektor swasta setelah menyumbang 2% dari total GDP Jepang selama 10 tahun terakhir. Abenomics bertujuan untuk mengatasi permasalahan ekonomi-sosial Jepang. Dalam mencapai tujuan tersebut, dibuat Kebijakan Tiga Panah (Three Arrow Policy), yaitu : 

  1. Kebijakan Fiskal 

Kebijakan ini memiliki dua program, yaitu program  peningkatan anggaran perbelanjaan negara dan program peningkatan pajak konsumsi. Kebijakan ini justru tidak efisien, yang membuat  hutang luar negeri Jepang melambung dari tahun-tahun sebelumnya, yang mana pada tahun 2012 rasio hutang Jepang hanya sebesar 229% terhadap GDP menjadi 237,6% pada tahun 2017 (Grabowiecki & Dabrowski, 2017). Disisi lain, Kebijakan Fiskal yang fleksibel juga dilakukan dengan menerapkan serangkaian “paket ekonomi” yang sebagian besar terdiri dari belanja publik untuk membangun dan memelihara infrastruktur, seperti jalan, jembatan, dan terowongan di daerah-daerah yang terkena bencana gempa bumi dan tsunami. Paket ekonomi utama yang diterapkan di bawah Abenomics meliputi: 20,2 triliun yen ($220 miliar) untuk paket pemulihan ekonomi darurat pada Januari 2013; 18,6 triliun yen ($180 miliar) untuk menciptakan “Siklus Virtuous” pada Desember 2013 dan 28,1 triliun yen ($280 miliar) untuk investasi dalam program masa depan pada Agustus 2016. Mencerminkan sebagian kebijakan fiskal yang agresif, pengeluaran pemerintah meningkat dari 191 triliun yen ($2,4 triliun) pada tahun 2012 menjadi 195 triliun yen ($2 triliun) pada tahun 2013 (Grabowiecki, 2019). Pemerintah perlu mengelola kebijakan fiskal jangka pendek secara tepat waktu dan fleksibel, serta dengan tegas menyatakan kemauan politik untuk memulihkan keseimbangan fiskal Jepang dalam jangka menengah dan panjang (Yoshino & Hesary, 2014). 

  1. Kebijakan Moneter 

Kebijakan ini memiliki tiga program, yaitu prototypical reflective, quantitative and qualaitative easing (QQE), dan zero bound. Bank of Japan (BOJ) selaku bank sentral bertanggung jawab atas berjalannya kebijakan ini. Kebijakan Moneter merupakan salah satu mesin utama pendorong Abenomics untuk mencapai tujuannya dalam mengurangi tingkat bunga riil, meningkatkan ekspektasi inflasi hingga 2% dan investasi. Dengan demikian, kebijakan ini berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jepang dalam jangka pendek, dengan meningkatkan GDP dan mengurangi tingkat pengangguran (Grabowiecki & Dabrowski, 2017). Kebijakan moneter agresif diterapkan oleh BOJ, dan itu mencakup target inflasi 2% yang didukung oleh QQE, melalui pembelian sejumlah besar obligasi pemerintah dan ekuitas swasta melalui dana perdagangan pertukaran. Sudah pada tahun 2003 bahwa pemerintah Jepang didorong oleh ketua Federal Reserve Amerika Serikat saat itu, Ben Bernanke, untuk melakukan kegiatan moneter yang bertujuan untuk mengatasi stagnasi dan setara dengan QQE Amerika. Sistem QQE di Jepang mirip dengan kegiatan Federal Reserve System (FED), hanya saja yang membedakan adalah skala intervensinya. Sesuai dengan kebijakan moneter yang agresif, kepemilikan BOJ atas obligasi pemerintah Jepang telah meningkat 3,3 kali lipat dalam 4 tahun dari 2012 hingga 2016, dari 1.253 triliun yen ($15,5 triliun) menjadi 4.177 triliun yen ($38 triliun), sementara basis moneter diperluas 3,6 kali lipat dalam periode kurang dari 5 tahun dari Desember 2012 hingga Agustus 2017, peningkatan yang luar biasa dibandingkan dengan ekspansi 2,4 kali lipat selama periode 15 tahun dari Desember 1997 hingga Desember 2012. Selanjutnya, BOJ memperkenalkan bunga negatif yang belum pernah terjadi sebelumnya. kebijakan suku bunga pada Januari 2016 untuk mencapai sasaran inflasi (Grabowiecki, 2019). 

  1. Kebijakan Strategi Pertumbuhan 

Dari stimulus moneter dan fiskal yang dirancang untuk membuka elemen ketiga Abenomics, yaitu strategi pertumbuhan. Strategi pertumbuhan diterbitkan dengan judul “Strategi Revitalisasi Jepang: Jepang Kembali” pada Juni 2013, dan sejak itu telah direvisi setiap tahun dengan sub judul yang berbeda, seperti Tantangan untuk Masa Depan (2014), Investasi Menuju Masa Depan, dan Produktivitas Revolusi (2016). Judul dokumen strategi pertumbuhan tahun 2017 diubah menjadi “Strategi Investasi untuk Masa Depan” dengan subjudul “Revolusi untuk Realisasi Masyarakat 5.0”. Tujuan utama dari strategi pertumbuhan adalah untuk menciptakan lingkungan ekonomi dan bisnis di mana investasi aktif dilakukan, masyarakat dapat menyadari potensi mereka secara maksimal, pasar baru diciptakan, dan perusahaan serta masyarakat terintegrasi ke dalamnya. Perusahaan dan sektor yang tercakup dalam strategi pertumbuhan, secara luas mulai dari pengembangan sumber daya manusia, melalui usaha kecil dan menengah (UKM), sektor teknologi informasi, promosi ilmu pengetahuan dan teknologi, FDI, hingga reformasi di bidang pertanian. sektor dan pasar tenaga kerja (Grabowiecki, 2019). 

Abenomics didasarkan pada aktivitas yang terinspirasi dari dua tren yang berlawanan dalam pemikiran ekonomi, yaitu Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal yang menunjukkan stimulasi permintaan Keynes, sedangkan strategi pertumbuhan didasarkan pada ekonomi penawaran. Abenomics pada intinya bertujuan untuk mendorong perekonomian jangka pendek dan strategi jangka panjang untuk mendukung pengembangan industri, modernisasi pertanian dan perluasan ekspor serta liberalisasi pasar tenaga kerja, pengembangan inovasi dan sumber daya manusia serta peningkatan dari tingkat hidup masyarakat. Realisasi hanya kegiatan jangka panjang yang dapat berkontribusi pada rekonstruksi model sosial-ekonomi  Jepang yang berlaku. 

Referensi 

Grabowiecki, J. (2019). Abenomics : from the “Great Stagnation” to the “Three-Arrows Strategy”. International Journal of Management and Economics, 55(3), 201-211. https://sciendo.com/pdf/10.2478/ijme-2019-0018 

Grabowiecki, J., & Mariusz, D. (2017). Abenomics and its impact on the economy of Japan. Optimum Studia Ekonomiczne, 5(89), 23-35. https://doi:10.15290/ose.2017.05.89.02 

Yoshino, N., & Taghizadeh Hesary, F. (2014). Three Arrows of’Abenomics and the Structural Reform of Japan : Inflation Targeting Policy of the Central Bank, Fiscal Consolidation, and Growth Strategy (ADBI Working Paper No. 492). Asian Development Bank Institute. http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2475730

Author: Bagas Arraafi

Mahasiswa di kelas Jepang dan Negara Industri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *