Menurut Rusli (2014) migrasi adalah suatu bentuk gerak penduduk geografis, spasial atau teritorial antara unit-unit geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal dari tempat asal ke tempat tujuan. Orang-orang yang melakukan migrasi disebut dengan migran, karena seseorang yang disebut sebagai migran ada kemungkinan sudah melakukan migrasi lebih dari satu kali. Secara umum ada dua jenis migrasi yaitu migrasi internal dan migrasi internasional. Migrasi internal terjadi antar unit geografis dalam suatu negara, sedangkan migrasi internasional terjadi antar negara.
Namun di era globalisasi sekarang ini, fenomena migrasi menemukan bentuk yang berbeda, baik dari segi motif, skala, jarak maupun akibat yang ditimbulkannya. Tidak seperti di masa lalu dimana migrasi kebanyakan terjadi di dalam satu wilayah negara, migrasi sekarang ini sudah melintasi batas teritorial negara, bahkan benua. Sebagaimana saat ini kita mengenali adanya migasi tenaga kerja internasional. Migrasi tenaga kerja internasional didefinisikan sebagai pergerakan orang-orang dari satu negara ke negara lain dengan tujuan untuk bekerja. Saat ini, sekitar 164 juta orang sedang bekerja di negara yang bukan negara tempat mereka dilahirkan. Meskipun sudah banyak upaya yang dilakukan untuk memastikan perlindungan dari para pekerja migran, banyak yang masih rentan dan menanggung risiko yang signifikan selama proses migrasi (Listrayini, 2021).
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan pekerja migran terbesar di seluruh dunia. Umumnya, para pekerja migrasi Indonesia bekerja di sektor buruh dan pekerja rumah tangga dengan pendapatan yang relatif rendah. Berdasarkan data yang dirilis oleh BNP2TKI pada tahun 2012 tercatat sebanyak 3. 998.592 pelaku migrasi internasional dari Indonesia tersebar di seluruh dunia. Adapun rinciannya yakni Saudi Arabia (1.427.928 orang); Malaysia (1.049.325 orang); Taiwan (381.588 orang); Singapura (228.875 orang); Uni Emerat Arab (220.820 orang); Hongkong (214.476 orang); Kuwait (106.594 orang); dan sejumlah negara lainnya (Haryono, 2017).
Namun terdapat sisi gelap dari adanya migrasi internasional ini, yakni salah satunya peningkatan angka kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang semakin besar, Indonesia telah menetapkan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-undang tersebut didukung oleh pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang melalui ditetapkannya Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008 (Interational Organization for Migration, n.d.).
Selain pmerintahan dalam negeri, terdapat INGO yang juga konsen terhadap isu ini, salah satunya adalah IOM. Sejak tahun 2005, IOM Indonesia telah secara berkelanjutan mendukung upaya Pemerintah Indonesia dalam mencegah dan menangani kasus-kasus TPPO di Indonesia melalui “Pendekatan 3P” Pencegahan, Perlindungan, dan Penuntutan. IOM Indonesia bekerja di level nasional dan sub-nasional dan berada dalam kemitraan yang erat dengan lembaga pemerintahan maupun nonpemerintahan. Berikut uraian dan penjelasan kerangka kerj ayom yang terdiri dari Pendekatan 3 P (Interational Organization for Migration, n.d.);
- Pencegahan
IOM Indonesia secara teratur melakukan peningkatan kesadaran dan kampanye mengenai migrasi yang aman untuk mencegah TPPO di antara masyarakat umum, pekerja migran dan calon pekerja migran, dan dengan kelompok masyarakat rentan lainnya. IOM juga melakukan aktivitas-aktivitas yang meningkatkan kapasitas dan kampanye publik dengan beragam pemangku kepentingan, termasuk pemimpin masyarakat, pemimpin desa, pemimpin agama, dan anggota masyarakat lainnya. Dalam upaya untuk menjangkau audiens yang lebih luas di seluruh Indonesia, IOM juga telah mengembangkan berbagai materi Informasi, Edukasi, dan Pendidikan (IEC), termasuk komik, film documenter berjudul “Jangan Kembali (Never Again)”, buku saku informasi mengenai bermigrasi yang aman, termasuk buku panduan negara tujuan.
- Perlindungan
IOM Indonesia menyediakan bantuan kembali, pemulihan dan reintegrasi kepada warga negara Indonesia dan warga negara asing yang menjadi korban TPPO melalui Victim Assistance Fund (VAF) atau Dana Bantuan untuk Korban TPPO. Bantuan reintegrasi termasuk pelayanan kesehatan mental dan fisik yang ditindaklanjuti, penyuluhan keluarga, dukungan pendidikan, dukungan mata pencaharian, dan bantuan hukum.
Bantuan diberikan melalui mekanisme rujukan yang melibatkan lebih dari 80 mitra pemerintah serta nonpemerintah. IOM Indonesia melakukan pelatihan dan memberikan bantuan teknis untuk meningkatkan peran dari Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO, termasuk di tingkat subnasional dalam memberikan bantuan yang relevan bagi para korban TPPO. Sejak tahun 2005, IOM Indonesia telah mengidentifikasi dan membantu lebih dari 9000 korban TPPO.
- Penuntutan
IOM Indonesia mendukung upaya Pemerintah Indonesia dalam menanggapi kejahatan TPPO melalui berbagai cara. IOM telah menyelesaikan tinjauan hukum yang komprehensif terhadap Undang-undang No. 21 Tahun 2007, mengembangkan revisi dari Buku Pedoman untuk Aparat Penegak Hukum dan sebuah Buku Panduan Pelatihan untuk Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan telah bekerja sama dengan Kejaksaan Agung RI, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan badan-badan peradilan.
Referensi
Rusli, S. (2014). Pengantar Ilmu Kependudukan. LP3ES
Haryono. (2017). Globalisasi dan Migrasi Tenaga Kerja Indonesia (Studi Deskriptif Sosiologi Kependudukan). Jurnal Hermeneutika Jurusan Pendidikan Sosiologi FKIP Untirta, 3(2), 1-1 4. https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/Hermeneutika
Listrayini. (2021, 08 April). Kasus perdagangan orang di Indonesia naik pada 2020. Republika. https://www.republika.co.id/berita/qr7v1l330/kasus-perdagangan-orang-di-indonesia-naik-pada-2020
International Organization for Migration. (n.d.). Penanganan Perdagangan Orang dan Migrasi Tenaga Kerja. https://indonesia.iom.int/id/penanganan-perdagangan-orang-dan-migrasi-tenaga-kerja